Senin, 07 Mei 2018

robusta liwa

Malam di Liwa terasa dingin, saat kami memasuki kota yang berada di atas 500-1.000 mdpl dan berada diantara Bukit Barisan bagian Selatan.  Tak jauh dari Liwa ada gunung Pesugi yang merupakan gunung tertinggi di provinsi Lampung. Jadi wajar saja malam terasa lebih dingin dari di ruang ber AC.

Saat pertama kali datang ke Liwa yang terbayang adalah warung kopi diberbagai sudut. Soalnya kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu produsen kopi terbesar di Indonesia. Sayang harapan dan imajinasi saya tidak terpenuhi. Kota dingin Liwa tidak banyak terdapat warung kopi sebab hutan lebat dan kabut yang turun lebih cepat membuat masyarakat lebih suka di dalam rumah untuk menghangatkan tubuh.

Pada awal 2010, saat SBY melakukan kunjungan ke Australia dan melakukan pertemuan dengan PM Kevin Ruud. Presiden Indonesia itu membawa oleh-oleh kopi Luwak. Sejak saat itu para penikmat mencari, membicarakan kopi Luwak. Dari Liwa inilah kopi Luwak bermula.  Kopi yang berasal dari kotoran Luwak setelah memakan biji kopi yang sudah berwarna merah marun. 70% daerah perkebunan kabupaten ini juga ditanami kopi yang berjenis Robusta. Kopi dengan aroma yang membius hidung untuk segera mencecap air berwarna hitam dan pahit.

Di Liwa, kopi Robusta biasa disuguhkan dengan gula merah. Itulah yang kami rasakan saat malam tiba dan tuan rumah menyediakan minuman. Kopi yang biasanya terasa pahit dan getir di lidah menjadi unik. Ini mengingatkan saya pada ucapan satire seorang kawan yang mengatakan. Kopi adalah penanda kesejahteraan, semakin pahit kopinya semkain susah hidupnya karena tidak mampu membeli gula.

Selain kenikmatan kopi, Liwa juga dikenal daerah yang mampu menjaga tradisi dan arsitektur rumah tradisional. Jika kita datang dari arah Lampung Utara persis sebelum memasuki Liwa kita akan menemukan barisan rumah tradisional Lampung di kiri dan kanan jalan hampir sepanjang 2 km. Diantara rumah tradisional tersebut terdapat istana kerajaan Sekala Brak dari ke Paksian Buay Pernong. Dalam sejarah dituliskan ada empat kefaksian kerajaan Sekala Brak.

Tentang kerajaan Sekala Brak, banyak di antara kita yang mungkin tidak mengetahui karena minimnya literatur dan referensi yang tersedia. Karena sempat berfoto di depan istana Sekala Brak Paksi Buay Pernong tersebut, saya berusaha membrowsing di mesin pencari google.  Di Wikipedia ditulisakan bahwa kepaksian Sekala Brak berasal dari Pagaruyung. Kerajaan yang berada di perbukitan  Minangkabau. Kerajaan Sekala Brak sebagaimana Pagaruyung dan banyak kejaraan di Nusantara mengalami dua fase yaitu sebagai Kerajaan Hindu lalu bertransformasi menjadi kerajaan Islam.

Diriwayatkan di dalam Tambo bahwa empat orang Putera Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Fase ini merupakan bagian terpenting dari eksistensi masyarakat Lampung. Dengan kedatangan Keempat Umpu ini maka merupakan kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/Animisme dan sekaligus merupakan tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam.

Kedatangan para Umpu Pendiri Paksi ini tidaklah bersamaan, berdasarkan penelitian terakhir diketahui bahwa menyebarnya Agama Islam dan pembaharuan Adat dilakukan setelah kedatangan Umpu Belunguh ke Sekala Brak yang memerangi Sekerumong dan akhirnya dimenangkan oleh perserikatan Paksi Pak sehingga dimulailah era Kesultanan Islam di Sekala Brak. Sedangkan penduduk yang belum memeluk agama Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang ke pulau Jawa dan sebagian lagi ke daerah Palembang. Raja terakhir dari Buway Tumi Sekala Brak adalah Kekuk Suik sebagai anak laki-laki dari Ratu Sekeghumong dengan wilayah kekuasaannya yang terakhir di Pesisir Selatan Krui -Tanjung Cina.


Sayangnya perjalan ke Liwa ini tidak punya banyak waktu untuk melihat dan menikmati keindahan danau Ranau yang terkenal. Dan gunung Pesugi hanya tampak dari kejauhan bebalut kabut.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.